PEMBAHASAN
2.1 Teori studi Al qur’an
2.1.1 Pengertian Tafsir Dan Takwil
Pada mulanya tafsir dan takwil dipahami sebagai dua kata yang
memiliki makna sinonim, kemudian keduanya dibedakan seiring dengan perkembangan
ilmu-ilmu Al-Quran pada kurun waktu awal hijriah. Kedua istilah ini dipahami
sebuah kegiatan dalam rangka menggali dan menjelaskan kandungan ayat-ayat
Al-Quran. Pada masa Rasulullah, tafsir dan takwil dianggap sama (mutaradif),
karena memang memiliki otoritas penuh dalam menjelaskan isi Al-Quran adalah
Rasulullah.
2.1.2 Pengertian Tafsir
Tafsir
secara etimologi adalah penjelasan terhadap satu kalimat ( eksplanasi dan klarifikasi ) yang juga
mengandung pengertian penyingkapan, penunjukan dan keterangan dari maksud satu
ucapan atau kalimat.[1]
Tafsir
secara terminologi, banyak pendapat-pendapat para ulama mengenai definisi
tafsir antara lain :
1.
Menjelaskan kalam allah, dengan kata lain berfungsi sebagai
penjelas bagi lafal-lafal al qur’an dan maksud-maksudnya.
2.
Mengungkapkan makna-makna al qur’an dan menjelaskan maksudnya.[2]
3.
Imam az Zarkasyi berpendapat bahwa tafsir adalah :
عِلْمُ
يُفْهَمُ بشهِ كِتَا بُ اللهِ الْمُنَزٌلُ عَلَى مُحَمٌدٍ صَلَى اللهُ عَلَيْهِ وَ
سَلٌمَ وَ بَيَانُ مَعَانِيْهِ وَاسْتِخْرَاجَ أَحَكَامِهِ وَ حِكَمِهِ
Pengetahuan
untuk memeahami kitabullah yang diturunkan kepada nabi Muhammad saw, dengan
menjelaskan makna maknanya, mengeluarkan/menggali hukum-hukum dan
hikmah-hikmahnya.
2.1.3 Pengertian takwil
Lafadz
takwil timbul beriringan dengan lafadz tafsir dalam pembahasan tentang
al-qur’an dikalangan para ahli tafsir, mereka menggangap takwil pada intinya
sama dengan tafsir dari segi makna masing-masing, kedua kata tersebut menjelaskan
tentang makna suatu lafadz tertentu dan berusaha mengungkap dibalik makna
tersebut.
Penulis
kitab Al-Qomus mengatakan “Seseorang menakwilkan suatu ucapan artinya ia
merenungkannnya, mengira-ngira, dan menafsirkannya”. Apabila kiita
memperhatikan kata takwil dan juga pemakaiannya dalam Al-Qur’an, maka kita akan
mendapatknya memiliki makna lain yang tidak sama dengan makna terminologis dari
kata ‘Tafsir’.
Al-qur’an
tidak membedakan antara keduanya kecuali dalam batasan dan perincian-perincian
tertentu. Agar kita memahami makna kata ‘Takwil’ maka kita harus memahami makan
Terminologisnya dallam Al-Qur’an.
Kata
takwil dalam Al-qur’an sebanyak tujuh kali tapi tidak disebutkan dalam makalah
ini:
1. Pada surat An-nnisa Firman Allah Swt : “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah
dan taatilah Rosulnya dan ulil amri diantaa kamu”. Kemudian jika kamu berlainan
pendapat tentang sesuatu, maka kembalikannlah ia kepada Allah dan Rosul, jika
kam benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian dan itu lebih utama
(Bagi mu) dan lebih baik akibatnya.
2. Pada Surat Yusuf Firman Allah Swt : “Dan demikianlah tuhan mu, memilih kamu
(untuk menjadi nabi) dan diajarkanya kepada mu sebagian dari tabir mimpi-mimpi
dan disempurnakannya nikmat-Nya kepadamu dan kepada keluarga Yakub, sebagaimana
dia telah menyempurnakan umat-Nya kepada kedua orang bapak mu sebelum itu,
yaitu Ibrahim dan Ishaq. Sesungguhnya Tuhan mu lebih mengetahui lagi maha
bijaksana.
3. Pada Surat Al-isra’ Allah Swt : “Dan sempurnakanlah takaran apabila kamu menakar,
dan timbanglah dengan neraca yang benar. Itulah yang lebih utama bagimu dan
lebih baik akibatnya (Ahsanu ta’wila).
4. Pada surat Al-kahfi Allah Swt : “Hidir berkata “ inilah perpisahan antara aku
dengan kamu, aku akan memberitahukan kepada mu tujuan (Takwil)
perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat sabar terhadapnya”.
Dengan
mempelajari ayat-ayat diatas, maka kita kan mengetahui bahwa kata ‘Takwil’ bukan
hanya bermakna ‘Tafsir’ dan penjelasan tentang makna suatu lafadz tetapi makan
seperti itu hanya terdapat pada ayat yang pertama saja, hal itu karena takwil
pada ayat yang pertama berkaitan dengan ayat-ayat samar (Muttashabih). Oleh
karena itu para ahli tafsir dari ayat ini
mengatakan bahwa takwil dari ayat mutasyabihat berarti adalah tafsir dan
penjelasan makna ayat tersebut. Ayat itu sendiri menunjukan ketidakbolehan
menafsirkan ayat-ayat samar.
Ada
beberapa ayat dalam Al-qur’an yang untuk memahaminya sangat sulit sekali dan
tidak ada yang mampu memahami dengan benar kecuali Allah dan orang-orang yang
diberikan kemampuan ilmu dan pemahaman yang tinggi apalagi untuk menentukan dua
kemungkinaan, apakah suatu ayat itu berhenti pada lafadz tertentu atau berlanjut
ke kalimat setelahnya, bagian al-qur’an yang mudah untuk dipahami untuk orang
awam, maka ayat tersebut adalah ayat yang sedah jelas, makna yang sesuai dengan
ayat-ayat tersebut adalah bahwa yang dimaksud dengan penakwilan sesuatu adalah
sesuatu yang dapat ditakwil dan akan berrakhit kepadanya secara eksternal dan
hakiki. Sebagaimana hal itu juga telah dapat kita ketahui dari lafadz itu
sendiri. Oleh karen itu, lafadz ‘takwil’ terkadang dinisbatkan kepada Allah dan
Rosulnnya, kepada kitab suci yang lain, kepada mimpi, dan kepada timbangan dan
neraca yang seimbang.
Maka
takwil dari ayat-ayat yang samar bukanlah bermakna penjelasann mengenai maksud
ayat tersebut dan bukan juga penafsiran maknanya secara etimologis. Akan
tetapi, makanaya adalah apa yang makna-makna tersebut ditakwilkan kepadanya
karena setiap makna tersebut masih umum kemudian akal manusia memberikan
batasan dan memberikan gambaran khusus. Maka gambaran inilah yang disebut
dengan takwil yang umum tersebut.
Atas
dasar penjelasan diatas, pengertian kata ‘Takwil’ dalam ayat tersebut adalah
sama dengan yang kami sebut sebagai ‘Tafsir semantik’. Itu karena orang-orang
yang didalam hatinya terdapat kejelekan yang berusaha memberikan batasan dan
gambaran tertentu terhadapa makna-makna dari ayat samar itu. Itu sebagai usaha
untuk menghembusakan fitnah karena sebagian ayat mutasyabih berkaitan dengan
alam ghaib, usaha untuk memberikan batasan makna secara logis dan khusus baik
yang konkrit maupun yang bersandarkan atas hawa nafsu sangatlah rentan dengan
bahaya dan fitnah.
Kita
dapat menyimpulkan penjelasan diatas sebagai berikut: Pertama, bahwasanya lafadz takwil terdapat dalam Al-qur’an dengan
makna segala sesuatu yang ditakwilkan kepadanya, dan bukan bermakna tafsir.
Makna seperti ini digunakan untuk menunjukan makna tafsir semantik dan bukan
tafsir etimologis, dengan kata lain makna itu dipergunakan dalam makna yang
umum dalam gambaran logis dan khas.
Kedua, bahwasanya
kekhususan untuk menakwilkan ayat mutasyabih hanya bagi Allah dan orang-orang
yang diberikan pemahaman ilmu yang baik bukanlah berarti bahwa ayat-ayat
mutasyabih tidak memiliki makna yang dapat dipahami dan juga tidak berarti
bahwa hanya Allah yang mengetahui maksud lafadz ayat tersebut dan penafsiranya.
Oleh karena itu selama dapat diikuti atau dipahami maka ayat mutasyyabih
tentulah mamilik makna yang dapat dipahami, bagaimana mungkin bagian dari ayat
Al-qur’an tidak dapat dipahami sedangkan Al-quran adalah petunjuk pada umat
manusia yang memberikan keterangan atas segala sesuatu.
Jika
membedakan anatar atafsir terminologis dann tafsir semantik maka kita akan
mengetahui bahwa yang khusus bagi Allah adalah menakwilkan ayat-ayat mutasyabih
dalam arti penafsiran semantik bukan penafsiran terminologis, demikianlah dari
penjelasan diatas bahwa takwil adalah penafsiran makna terminologis dan
pembahasan tentang apa-apa yang ditakwilkan kepadanya dari pemahaman-pemahaman
yang masih umum.
2.1.4 Persamaaan dan
Perbedaan Antara Tafsir dan Takwil
Mengenai
persamaaan dan perbedaan antara tafsir dan takwil ini, ada perbedaaan pendapat
di sebagian kalangan ulama.:
Pendapat pertama menyatakan bahwa tafsir dan
takwil itu memiliki satu arti, karena keduanya merupanakan sinonim (muradif)
sehingga jika yang satu dan yang lainnya digunakan untuk pengertian yang sama.
Jika disebut kata tafsir berarti juga takwil dan jika disebut takwil maka
berarti juga tafsir.
Pendapat
kedua, menyatakan beberapa pandangan dari sebagian ahli tafsir yang menentang
pengindentikan, apalagi penyamaan antara tafsir dan takwil, seperti yang
dikemukakan abu ubaidah, mereka berpendapat bahwa tafsir itu tidak sama dengan
takwil, namun demikian mereka juga berbeda pendapat dalam mengedepankan sisi
perbedaaanya.
Ar-raghib
misalnya berpendirianbahwa makana tafsir lebih umum daripada takwil, atau
sebaliknya, makna takwil lebih khusus daripada tafsir. Istilah tafsir menurut
ar-raghib lebih banyak digunakan dalam konteks lafal dan makna mufradat, sedang
takwil lebih banyak dihubungkan dengan persoalan makna isi dari rangkaian pembicaraan
secara keseluruhan (utuh).[3]
Abu
thalib al-tsa’labi berpendapat bahwa, tafsir itu menerangkan objek
lafal(redaksi teks) dari sisi pandang hakiki atau majazi. Sedangkan takwil itu
bermaksud menerangkan substansi teks (bathin al lafzh).
Sebagian
ulama lainnya berpendapat bahwa tafsir lebih banyak berhubungan dengan hal-hal
yang bersifat pendengaran atau periwayatan, sedangkan takwil lebih banyak
dikorelasikan dengan hal-hal yang bersifat penalaran. Seperti pendapatt abu
nashr al-qusyairi yang menyatakan bahwa tafsir hanya terbatas pada ayat
al-qur’anyang lebih mengandalkan sumber-sumber penglihatan dan pendengaran
berbeda dengan takwil yang pemahamannya lebih banyak bergantung pada hal-hal
yang bersifat ijtihad. Dengan kata lain,
tafsir lebih banyak mengacu pada riwayah(pendengaran), sedangkan takwil pada
dirayah (analisis).
2.1.5 Sejarah Tafsir Al-qur’an
Penafsiran
al-qur’an sudah berlangsung sejak zaman nabi Muhammad Saw dan masih tetap berlangsung hingga
sekarang bahkan pada masa yang mendatang, penafsiran al-qur’an telah
menghabiskan waktu yang sangat penjang dan melahirkan sejarah yang sangat
panjang pula, namun disini kami hanya akan menjelaskna secara singkat saja
tentang sejarah tafsir al-qur’an.
Sejarah
tafsir qur’an secara garis besar, terdapat 3 periode, periode pertama adalah
periode tafsir di masa Rasulullah Saw, kedua tafsir di masa sahabat, ketiga
tafsir di masa tabi’in.
A.
Periode tafsir di masa Rasulullah
Tugas utama nubuwwah nabi Muhammad adalah
menyampaikan muatan al-qur’an. Berbarengan dengan hal itu pula yang juga
didasarkan pada al-qur’an, nabi Muhammad diberi otoritas untuk menerangkan atau
menafsirkan al-qur’ankarena tidak seluruh ayat yang diturunkan kepada rasulullah dapat dipahami dengan mudah
oleh para sahabat. Maka dari itu rasul yang menerangkanya berdasarkan pada
keterangan-keterangan yang diperoleh dari Allah yang kemudian dijelaskan
kembali dengan bahasa beliau sendiri
Atas dasar itu pula para ahli tafsir dan ilmu al’qur’an seperti,
qari’, hafizh dan para muffassir pertama dalam sejarah ilmu tafsir al’qur’an,
menobatkan nabi Muhammad Saw sebagai mufassir pertama.
Pembahasan diatas membawa kita pada penjelasan yang tegas yaitu
bahwa, pertama, setiap penafsiran al-qur’an hendaknya lebih dahulu
memperhatikan keterangan yang beliau berikan, kemudian baru diterangkann dengan
logika dan rasio. Kedua, Nabi Saw merupakan pemegang otoritas tunggal
sebagai penafsir dan penjelas al qur’an pada masa kersulan.
B.
Periode tafsir di masa Sahabat
Sepeninggal
nabi Muhammad Saw selaku mufassir pertama dan tunggal dizamanya, penafsiran
al-qur’an dilakukan oleh para sahabat. Banyak sahabat yang dibekali rasulullah
dengan ilmu al-qur’an dan ada pula yang memang akrab bergaul dengan rasulullah,
sehingga banyak dari mereka menjadi mufassir di kalangan sahabat, beberapa
sahabat yang paling banyak memberikan kontribusinya pada penafsiran tentang
ayat-ayat al-qur’an, ada sepuluh yang paling utama, yaitu :
1.
Abu bakar as-Siddiq
2.
Umar bin al-Khattab
3.
Usman bin Affan
4.
Ali bin abi Thalib
5.
Abdullah bin Mas’ud
6.
Abdullah bin Abbas
7.
Ubay bin Ka’ab
8.
Zaid bin Sabit
9.
Abu Musa al-Asyari
10.
Abdullah Bin Zubair
Dari beberapa orang yang disebutkan
diatas empat diantaranya adalah Khulafa’ur Rasyidin, dan dari keempat orang
tersebut ali bin abi thalib lah yang dikenal paling banyak menafsirkan
al-qur’an. Namun bila diantara kesepuluh sahabat diatas, ibnu abba adalah
sahabat yang paling banyak dan paling dalam pengetahuanya mengenai tafsir
al-qur’an dan pernah disebutkan bahwa Abdullah bin abbas pernah mendapatkan doa
khusus dari Rasulullah Saw agar dia memahami al-qur’an dan ternyata hal itu
terbukti.
Pada masa ini tafsir memiliki empat
sumber sebagai rujukan utama, yaitu:
1.
Al qur’an al karim, atau biasa disebut tafsir al qur’an bil qur’an.
2.
Nabi saw yang dalam implementasinya disebut tafsir al-qur’an bis
sunnah.
3.
Tafsir alqur’an dengan pendapat sahabat.
4.
Ahli kitab dari umat yahudi dan nasrani, hal ini karena al-qur’an
sejalan dengan taurat dalam beberapa masalahnya.
C.
Periode Tafsir di masa tabi’in
Pada masa ini ekspansi yang dilakukan secara
agresif dan mobilitas yang sangat tinggi ke berbagai daerah jazirah arab dan
luar jan memperluas dan mengembangkan wilayah islam. Hal tersebut turut mempengaruhi
kompleksitas permasalahan yang dihadapi oleh umat islam.
Seiring dengan semakin meluasnya daerah yang dipengaruhi oleh
islam, peradaban dan kebudayaan islam pun mengalami kemajuan, termasuk ilmu
tafsir. Para mufassir tidak lagi merasa cukup dengan hanya mengutip atau
menghafal seperti yang dilakukan selama ini, tetapi mereka mulai berorientasi
pada penafsiran al-qur’an berdasarkan pendekatan ilmu bahasa dan penalaran
ilmiah. Dengan kata lain tidak lagi mengandalkan kekuatan tafsir bil al
ma’tsur tetapi juga berupaya mengembangkan tafsir bil al dirayah
dengan segala macam implikasinya.
Pada masa ini tafsir al-qur’an mengalami perkembangan sedemikiam
rupa dengan penitikberatan pada pembahasan aspek tertentu sesuai dengan
tendensi dan kecenderungan mufassir itu sendiri.
Pada
masa ini tafsir memiliki lima sumber rujukan utama, yaitu :
1.
Al qur’an al karim, atau biasa disebut tafsir al qur’an bil qur’an.
2.
Nabi saw yang dalam implementasinya disebut tafsir al-qur’an bis
sunnah.
3.
Tafsir alqur’an dengan pendapat sahabat.
4.
Ahli kitab dari umat yahudi dan nasrani, hal ini karena al-qur’an
sejalan dengan taurat dalam beberapa masalahnya.
5.
Ijtihad para tabi’in
2.2 Model-model penelitian
2.2.1 Model Quraish Shihab
H.M
Quraish Shihab (lahir tahun 1944) pakar di bidang Tafsir dan Hadis se-Asia
Tenggara,telah banyak melakukan penelitian terhadap berbagai karya ulama
terdahulu di bidang tafsir. Ia telah meneliti tafsir karangan Muhammad Abduh
dan Rasyid Ridha, dengan judul Studi Kritis Tafsir Al-Manar karya
Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha yang telah di terbitkan dalam bentuk buku oleh
Pustaka Hidayah pada tahun 1994. Model penelitian tafsir yang dikembangkan oleh
H.M Quraish Shihab lebih banyak bersifat eksploratif, deskriptif, analitis, dan
perbandingan. Yaitu model penelitian yang berupaya menggali sejauh mungkin
produk tafsir yang dilakukan ulama-ulama
tafsir terdahulu berdasarkan berbagai literatur tafsir baik yang bersifat primer,
yakni yang ditulis oleh ulama tafsir yang bersangkutan, maupun ulama lainnya.
Data-data yang dihasilkan dari berbagai literatur trsebut kemudian di
deskripsikan secara lengkap serta dianalisis dengan menggunakan pendekatan
kategoris dan perbandingan.
Hasil penelitian H.M Quraish Shihab terhadap Tafsir al-Manar
Muhammad Abduh, misalnya menyatakan bahwa Syaikh Muhammad Abduh (1849-1909)
adalah salah seorang ahli tafsir yang banyak mengandalkan akal, menganut
prinsip tidak menafsirkan ayat-ayat yang kandungannya tidak terjangkau oleh
pikiran manusia, tidak pula ayat-ayat yang samar atau tidak terperinci dalam
al-Qur’an. Ketika menafsirkan firman Allah dalam al-Qur’an surat 101 ayat 6-7
tentang “timbangan amal perbuatan di hari kemudian” , Abduh menulis “Cara Tuhan
dalam menimbang amal perbuatan, tiada lain kecuali atas dasar apa yang
diketahui olehNya, bukan atas dasar apa yang kita ketahui, maka hendaklah kita
menyerahkan permasalahannya hanya kepada Allah SWT. Atas dasar keimanan.[4]
Bahkan, Abduh terkadang tidak menguraikan arti satu kosakata yang tidak jelas
dan menganjurkan untuk tidak perlu membahasnya, sebagaimana sikap yang ditempuh
sahabat Umar bin Khathab ketika membaca abba dalam surat Abasa (Q.S
80:32) yang berbicara tentang aneka ragam nikmat Tuhan kepada
makhluk-makhlukNya.[5]
Selanjutnya,dengan tidak memfokuskan pada tokoh tertentu, Quraish
Shihab telah meneliti hampir seluruh karya tafsir yang dilakukan para ulama
terdahulu. Dari penelitian tersebut telah dihasilkan beberapa kesimpulan yang
berkenaan dengan tafsir. Antara lain: (1) periodesasi pertumbuhan dan
perkembangan tafsir (2) corak-corak penafsiran (3) macam-macam metode
penafsiran alqur’an (4) syarat-syarat dalam menafsirkan alquran, dan (5)
hubungan tafsir modernisasi.
a. Periodesasi
Pertumbuhan dan Perkembangan Tafsir
Menurut hasil penelitian Quraish, jika tafsir dilihat dari segi
penulisannya (kodifikasi), perkembangan tafsir dapat dibagi ke dalam tiga
periode.
Periode 1, yaitu
masa Rasulullah, sahabat dan permulaan tabi’in, dimana tafsir belum tertulis
dan secara umum periwayatan ketika itu tersebar secara lisan.
Periode 2, bermula
dengan kodifikasi hadis secara resmi masa pemerintahan Umar bin Abdul Azis
(99-101H) dimana tafsir ketika itu ditulis bergabung dengan penulisan hadis,
dan di himpun dalam satu bab seperti bab-bab hadis walaupun tentunya penafsiran
yang ditulis itu umumnya adalah tafsir bi al-Ma’tsur.
Periode 3, dimulai
dengan penyusunan kitab-kitab, tafsir secara khusus dan berdiri sendiri, oleh
sementara ahli menduga dimulai oleh Al-Farra (W.207 H) dengan kitabnya berjudul
ma’ani alqur’an.[6]
Periodesasi tersebut masih bisa ditambahkan lagi dengan peiode
keempat, yaitu periode munculnya para peneliti tafsir yang membukukan hasil
penelitiannya itu, sehingga dapat membantu masyarakat mengenal karya-karya
tafsir yang ditulis oleh para ulama sebelumnya dengan mudah.
b.
Corak Penafsiran
Berdasarkan hasil penelitiannya, Quraish Shihab mengatakan bahwa
corak-corak penafsiran yang dikenal selama ini antara lain:
Corak Sastra Bahasa, timbul
akibat kelemahan-kelemahan orang arab sendiri di bidang sastra
Corak Filsafat dan teologi, akibat penerjemahan kitab filsafat yang mempengaruhi sementara
pihak serta akibat masuknya penganut agama-agama lain ke dalam islam yang
dengan sadar atau tidak, masih mempercayai beberapa hal dari kepercayaan lama
mereka.
Corak Penafsiran Ilmiah, akibat kemajuan ilmu pengetahuan dan usaha penafsir untuk memahami
ayat-ayat alqur’an sejalan dengan perkembangan ilmu.
Corak Fiqih atau Hukum, akibat perkembangan ilmu fiqih dan terbentuknya madzhab-madzhab fiqih
Corak Tasawuf, akibat
timbulnya gerakan-gerakan sufi sebagai reaksi terhadap kecenderungan berbagai
pihak terhadap materi.
Corak Sastra Budaya Kemasyarakatan, yakni suatu corak tafsir yang menjelaskan petunjuk ayat-ayat
alqur’an yang berkaitan langsung dengan kehidupan masyarakat. Corak ini bermula
pada masa Syaikh Muhammad Abduh sehingga mengurangi perhatian pada corak-corak
sebelumnya dan lebih banyak tertuju pada corak ini.[7]
c.
Macam-macam Metode Penafsiran Alquran
Metode Ma’tsur (periwayatan), metode ini memiliki banyak keistimewaan, antara lain: (a)
Menekankan pentingnya bahasa dalam memahami Alquran. (b) Memaparkan ketelitian
redaksi ayat ketika menyampaikan pesan-pesannya. (c) mengikat mufasir dalam
bingkai teks ayat-ayat sehingga membatasinya terjerumus dalam subyektifitas
berlebihan. Sedangkan kelemahannya antara lain: (a) terjerumusnya
mufassir kedalam kebahasaan dan kesusastraan yang bertele-tele sehingga pesan
pokok Alquran menjadi kabur. (b) seringkali konteks turunnya ayat atau sisi
kronologis turunnya ayat-ayat hukum yang dipahami dari uraian nasih mansukh
hampir dapat dikatakan terabaikan sama sekali, sehingga ayat-ayat tersebut
bagaikan turun bukan dalam satu masa atau berada di tengah-tengah masyarakat
tanpa budaya.[8]
Metode penalaran: pendekatan dan corak-coraknya,
·
Metode tahlily atau yang dinamai oleh Baqir Al-Shadr sebagai metode
tajzi’iy adalah satu metode tafsir yang mufassirnya berusaha menjelaskan
kandungan ayat-ayat Al-qur’an dari berbagai seginya dengan memperhatikan
runtutan ayat-ayat alquran sebagaimana tercantum di dalam mushhaf. Segala segi
yang dianggap perlu oleh seorang mufassir tajzi’iy/tahlily diuraikan. Yaitu
bermula dari kosakata, asbab al-nuzul, munasabat, dan lain-lain yang berkaitan
dengan teks atau kandungan ayat. Kelebihan metode ini antara lain adanya
potensi untuk memperkaya arti kata-kata melalui usaha penafsiran terhadap
kosakata arab, syair-syair kuno, dan kaidah-kaidah ilmu nahwu. Kelemahan
metode ini, walaupun dinilai luas, namun tidak menyelesaikan pokok bahasan,
karena seringkali satu pokok bahasan diuraikan sisinya atau kelanjutannya pada
ayat lain.[9]
·
Metode ijmali atau yang disebut juga dengan metode global adalah
cara menafsirkan ayat-ayat Alquran dengan menunjukkan kandungan makna yang
terdapat pada suatu ayat secara global.
·
Metode muqarin adalah metode tafsir alquran yang dilakukan dengan
cara membandingkan ayat alqur’an yang satu dengan lainnya, yaitu ayat-ayat yang
mempunyai kemiripan redaksi dalam dua atau lebih kasus yang berbeda. Adapun
prosedur penafsiran dengan metode muqarin antara lain: (1) menginventarisasi
ayat-ayat yang mempunyai kesamaan dan kemiripan redaksi. (2) meneliti kasus
yang berkaitan dengan ayat-ayat tersebut. (3) mengadakan penafsiran.
·
Metode Maudhu’iy. Salah satu pesan Ali bin Abi Thalib adalah:
“Ajaklah Alquran berbicara atau biarkan ia menguraikan maksudnya.” Pesan ini
antara lain mengharuskan penafsir merujuk kepada Alqur’an dalam rangka memahami
kandungannya. Dari sini lahirlah metode maudhu’iy yang mana mufassirnya
berupaya menghimpun ayat-ayat alquran dari berbagai surat yang berkaitan dengan
persoalan atau topik yang ditetapkan sebelumnya. Kemudian mufassir membahas dan
menganalisis kandungan ayat-ayat tersebut sehingga menjadi satu kesatuan yang
utuh.[10]
Berdasarkan metode
penafsiran alqur’an tersebutbagi Quraish Shihab bukan hanya sekedar teori atau
pengetahuan belaka sebagaimana pada umumnya yang dimiliki para pakar, tetapi
telah dipraktekkannya dalam kegiatan menafsirkan alquran. Ia misalnya menulis
buku “Mahkota Tuntutan Ilahi (terbitan untagma tanpa tahun)” yang isinya adalah
tafsir Surat Al-Fathihah. Sementara bukunya yang lain seperti “Membumikan
Al-Qur’an dan Wawasan Al-Qur’an”, yang diterbitkan Mizan pada tahun 90-an
berisi pembahasan tentang berbagai masalah sosial kemasyarakatan dengan menggunakan
metode tematik.
2.2.2 Model Ahmad
al-Syarbashi
Pada
tahun 1985 Ahmad Al-Syarbashi melakukan penelitian tentang tafsir dengan
menggunakan metode deskriptif, eksploratif dan analisis sebagaimana halnya yang
dilakukan oleh Quraish Shihab. Sedangkan sumber yang digunakan adalah
bahan-bahan bacaan atau kepustakaan yang ditulis para ulama tafsir, seperti Ibn
Jarir Al-Tabari, Al-Zamaksyari, Jalaludin Al-Shuyuti, Al-Raghib Al-Ishfahani. Hasil penelitiannya mencakup tiga bidang.
1.
Mengenai sejarah penafsiran al-Qur'an yang dibagi ke dalam tafsir pada masa
sahabat
2.
Mengenai corak tafsir, yaitu tafsir ilmiah, tafsir sufi dan tafsir politik.
3.
Mengenai gerakan pembaharuan di bidang tafsir.
Menurutnya,
tafsir pada zaman Rasulallah Saw, pada awal masa pertumbuhan Islam disusun
pendek dan tampak ringkas karena pengusaan bahasa Arab yang murni pada saat itu
cukup untuk memahami gaya dan susunan kaliamat Al-Qur'an. Pada masa-masa
sesudah itu penguasaan bahasa Arab mengalami kerusakan akibat percampuran
masyarakat Arab dengan bangsa-bangsa lain, yaitu ketika pemeluk Islam
berkembang meluas ke berbagai negeri. Untuk memelihara keutuhan bahasanya,
orang arab mulai meletakkan kaidah-kaidah bahasa Arab seperti Ilmu Nahwa
(gramatika) dan balaghah (retorika). Disamping itu pula, tujuan dimulainya
dilakukan penafsiran Al-Qur'an sebagai pedoman bagi kaum muslimin juga
memudahkan memahami banyak hal yang samar dan sulit dalam pemaknaannya.
Lebih
lanjut, beliau mengatakan pastinya dilakukan melalui sabda Nabi Saw sebagai tolak ukur langkah awal untuk
dilakukan penafsiran sebagai hal yang paling dekat relasinya dengan al-Qur'an.
Karena, sebagaimana yang kita ketahui telah banyak pula hadits-hadits yang
maudhu barulah setelah itu kita merujuk tafsir dari para sahabat.
Dalam
poin ke-2 mengenai corak tafsir dalam contoh pertama (tafsir ilmiah), sudah
dapat dipastikan bahwa dalam al-Qur'an tidak terdapat satu teks induk yang
bertentangan dengan bermacam kenyataan ilmiah. Ini merupakan satu segi dari
kedudukannya sebagai mukjizat. Ahmad Al- Syarbashi mengatakan berdasarkan data
yang didapat dari kitab tafsir Ar-Razi yakni banyak bagiannya yang dapat
dianggap ilmiah. Sebagaimana pula dalam judul panjang dari kitab tasir Muhammad
bin Ahmad Al-Iskandrani yakni Kasyful Asrar Al-Nuraniyah al-Quraniyah fi Ma
Yata'allaqu bi Al-Arwah As-Samawiyah wa Al-Ardhiyah.
Selanjutnya,
mengenai tafsir sufi beliau menuturkan ada kaum sufi sibuk menafsirkan
huruf-huruf al-Qur'an dan berusaha menjelaskan relasi dengan huruf lainnya.
Ahmad al-Syarbashi membuktikan adanya tafsir sufi lewat kutipannya dari
pendapat Al-Thusi yakni segala yang dapat dipahami dan segala sesuatu yang
dapat diungkapkan serta diketahui oleh manusia, semuanya itu berasal dari dua
huruf yang terdapat pada permulaan Kitabullah, yaitu Bismillah dan
Alhamdulillah karena keduanya bermakna Billah (karena
Allah) dan lillah (bagi Allah). Jadi segala sesuatu dapat dimengerti
karena Allah dan bagi Allah.
Menurutnya,
dalam penjelasan mengenai tafsir politik berdasarkan pendapat kaum
Khawarij yang terlibat dalam politik dan memahami ayat-ayat al-Qur'an.
Sebagaimana dalam surat Al-Hujurat ayat 9 yang artinya : Jika ada dua golongan
orang-orang yang beriman berperang, damaikanlah antara keduanya. Dalam
pemahaman kaum ini (khawarij) Allah menurunkannya berkaitan dengan terjadinya
peperangan antara golongan Ali bin Abi Thalib dan golongan Mu'awiyah bin Abi
Sufyan.
Selain
itu, juga terdapat gerakan pembaharu dalam bidang tafsir, beliau mendasarkan
pada beberapa karya ulama yang muncul pada awal abad ke-20. Ia menyebutkan
Sayyid Rasyid Ridha –murid Syekh Muhammad Abduh yang telah banyak menuangkan
kuliah-kuliah gurunya dalam majalah Al-Manar lalu beliau buat dalam
sebuah kitab tafsir yang disebut sebagai kitab tafsir Al-Manar
yakni mengandung pembaharuan dan perkembangan zaman. Dalam kitab tersebut Syekh
Muhammad Abduh berusaha untuk menghubungkan ajaran-ajaran Al-Qur'an dengan
kehidupan masyarakat disamping membuktikan bahwa islam adalah Universal, umum,
abadi. Metode ini dinamakan menafsirkan Al-Qur'an dengan Al-Qur'an dan tetap
berpegang pada hadits-hadits shahih.
2.2.3 Model Syaikh Muhammad Al-Ghazali
Syaikh
Muhammad Al-Ghazali dikenal sebagai pemikir islam abad modern yang produktif,
ia menempuh cara penelitian tafsir yang bercorak eksploratif, deskriptif dan
analitik dengan berdasar pada rujukan kitab-kitab tafsir yang ditulis ulama
terdahulu. Hasil penelitian Al-Ghazali
salah satunya berjudul Berdialog
Dengan Qur’an yang di dalamnya terkandung macam-macam metode memahami Al-Qur’an, ayat-ayat kauniyah
tentang Al-Qur’an, bagaiman memahami Al-Qur’an, peran ilmu-ilmu sosial dan
kemanusiaan dalam Al-Qur’an. Lebih spesifiknya lagi tentang macam-macam metode
memahami Al-Qur’an , Al-Ghazali membaginya menjadi dua yaitu metode klasik dan
metode modern .
Berbagai
macam metode yang disampaikan oleh Al-Ghazali tersebut oleh ulama lainnya
disebut sebagai pendekatan, dan bukan metode. Muhammad Al-Ghazali mengemukakan
metode modern timbul sebagai akibat dari adanya kelemahan dalam berbagai metode
yang telah ia kemukakan di atas. Salah satu contoh datang dari pendekatan
atsariyah atau tafsir bil ma’tsur. Kritik dari metode ini adalah ayat-ayat yang
sering dikaitkan dengan hadits dhaif, sehingga apa yang diharapkan dari sebuha
tafsir Al-Qur’an dengan pemikiran Qur’ani tampaknya belum begitu terlihat.
Kasus lainnya yang Al-Ghazali temukan
ada pada kitab Fi Dzilalil Qur’an
karya Sayyid Quthub yang ia nilai hanya mengutip nash-nash saja dari tafsir
Ibnu Katsir, sedangkan hadits-haditsnya tidak dikutip selengkap ia mengutip
nash-nash yang ada. Padahal Al-Ghazali menginginkan pikiran-pikiran baru yang
orisinal yang dapat ia temukan dari
karya Sayyid Quthub tersebut. Contoh lainnya yang ia kemukakan dari
tafsir yang bercorak dialogis, seperti yang pernah dilakukan Al-Razi dalam
tafsirnya Al-Tafsir Al-Kabir.
Menurutnya buku ini banyak menyuguhkan tema-tema menarik tetapi sebagaian dari
tema tersebut sudah keluar dari batasan itu sendiri, yang menjadi acuan
penafsir Qur’an.
Berangkat
dari kekurangan itulah Al-Ghazali berusaha memberikan jalan keluar dimana kita
dapat memberikan jawaban terhadap berbagai masalah kontemporer dan modern, ia
pun memberikan saran antara lain: “Kita inginkan saat ini adalah karya-karya
keislaman yang menambah tajamnya pandangan islam dan bertolak dari pandangan
islam yang benar dan berdiri di atas argument yang memiliki hubungan dengan
Al-Qur’an. Kita hendaknya berpandangan bahwa hasil pikiran adalah relative dan
spekulatif, bisa benar juga bisa salah. Keduanya memiliki bobot yang sama dalam
sebuah kegiatan pemikiran. Di sisi lain, kita juga tidak menutup mata terhadap
adanya manfaat atau fungsi serta sumbangan pemikiran keagamaan lainnya, bila
itu semua menggunakan metode yang tepat.”.
Metode Penelitian Lainnya
Metode-metode
lainnya yang perlu mendapatkan perhatian adalah metode yang berdasarkan
aspek-aspek tertentu dari Al-Qur’an. Di antaranya ada yang memfokuskan
penelitiannya terhadap kemu’jizatan Al-Qur’an , metode-metode , kaidah-kaidah
dalam menafsirkan Al-Qur’an, kunci-kunci untuk memahami Al-Qur’an serta ada
pula yang khusus meneliti mengenai corak dan arah penafsiran Al-Qur’an yang
khusus terjadi pada abad keempat.
Amin
Abdullah dalam bukunya berjudul Studi
Agama juga telah melakukan penelitian deskriptif secara sederhana terhadap
perkembangan tafsir. Menurutnya jika
dilihat secara garis besar perjalanan sejarah abad pertengahan, agaknya tidak
terlalu meleset jika dikatakan bahwa dominasi tafsir Al-Qur’an secara
leksiografis (lughawi) tampak lebih menonjol. Tafsir karya Shihab Al-Din
Al-Khaffaji (1659) memusatkan perhatian pada analisis gramatika dan analisis
sintaksis atas ayat-ayat Al-Qur’an. Juga karya Al-Baydawi (1286), yang hingga
sekarang masih digunakan di pesantren-pesantren, yang memusatkan penafsiran
Al-Qur’an secara lugahwi. Karya leksiografis lainnya ada pada karya ‘Aisyah Abd
Rahman binti Al-Syati’ dalam Al-Tafsir Al-Bayan Li Al-Qur’an Al-Karim. Karya
tafsir mutakhir ini kaya dengan metode komparatif di dalam memahami dann
menafsirkan arti suatu kosa kata Al-Qur’an.
Tanpa
harus mengecilkan jasa besar tafsir yang bercorak leksiografis, corak seperti
itu dapat membuat kita memandang bahwa Al-Qur’an kurang utuh karena belum
menampilkan suatu pemahaman yang utuh dari pemahaman Al-Qur’an yang
fundamental. Karya tafsir yang menampilkan I’jaz
akan membuat kita terpesona dengan bahasa Al-Qur’an yang sangat indah itu,
tetapi kurang bisa menguak nilai-nilai spiritual dan sosio moral Al-Qur’an
untuk kehidupan sehari-hari manusia.
Contoh
lain pada penonjolan tafsir Al-Qur’an lewat Asbabun
Nuzul bila terlepas dari nilai-nilai fundamental universal yang ingin
ditonjolkan. Ia mengandung minus keterkaitan dan keterpaduan antara ajaran
Al-Qur’an yang bersifat universal dan transcendental bagi kehidupan manusia di
manapun mereka berada.
[2] Muhammad bin sulaiman al khafiji, At Taisir
Fi Qawa’id ‘Ilm Tafsir ( Beirut: Darul-Qalam, 1990), Cet ke 1, h. 124
[3] H. Ahmad Izzan, M.Ag Metodologi Ilmu Tafsir
[4] Syekh Muhammad Abduh,Tafsir Juz Amma,(Mesir:Dar
al-Hilal,1967),hlm.189
[5] Ibid hlm.26
[6] H.M.Quraish Shihab,Membumikan Al-Qur’an,op.cit.,hlm.73.
[7] Ibid,hlm.73.
[8] Ibid,hlm.84.
[9] Ibid.,hlm.86.
[10] Quraish Shihab,op.cit.,hlm.87.
No comments:
Post a Comment