Friday, January 4, 2013

Makalah Metodologi


PEMBAHASAN


2.1     Teori studi Al qur’an

2.1.1  Pengertian Tafsir Dan Takwil
Pada mulanya tafsir dan takwil dipahami sebagai dua kata yang memiliki makna sinonim, kemudian keduanya dibedakan seiring dengan perkembangan ilmu-ilmu Al-Quran pada kurun waktu awal hijriah. Kedua istilah ini dipahami sebuah kegiatan dalam rangka menggali dan menjelaskan kandungan ayat-ayat Al-Quran. Pada masa Rasulullah, tafsir dan takwil dianggap sama (mutaradif), karena memang memiliki otoritas penuh dalam menjelaskan isi Al-Quran adalah Rasulullah.

2.1.2  Pengertian Tafsir

Tafsir secara etimologi adalah penjelasan terhadap satu kalimat (     eksplanasi dan klarifikasi ) yang juga mengandung pengertian penyingkapan, penunjukan dan keterangan dari maksud satu ucapan atau kalimat.[1]


Tafsir secara terminologi, banyak pendapat-pendapat para ulama mengenai definisi tafsir antara lain :

1.      Menjelaskan kalam allah, dengan kata lain berfungsi sebagai penjelas bagi lafal-lafal al qur’an dan maksud-maksudnya.
2.      Mengungkapkan makna-makna al qur’an dan menjelaskan maksudnya.[2]
3.      Imam az Zarkasyi berpendapat bahwa tafsir adalah :

عِلْمُ يُفْهَمُ بشهِ كِتَا بُ اللهِ الْمُنَزٌلُ عَلَى مُحَمٌدٍ صَلَى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلٌمَ وَ بَيَانُ مَعَانِيْهِ وَاسْتِخْرَاجَ أَحَكَامِهِ وَ حِكَمِهِ
Pengetahuan untuk memeahami kitabullah yang diturunkan kepada nabi Muhammad saw, dengan menjelaskan makna maknanya, mengeluarkan/menggali hukum-hukum dan hikmah-hikmahnya.


2.1.3  Pengertian takwil
Lafadz takwil timbul beriringan dengan lafadz tafsir dalam pembahasan tentang al-qur’an dikalangan para ahli tafsir, mereka menggangap takwil pada intinya sama dengan tafsir dari segi makna masing-masing, kedua kata tersebut menjelaskan tentang makna suatu lafadz tertentu dan berusaha mengungkap dibalik makna tersebut.
Penulis kitab Al-Qomus mengatakan “Seseorang menakwilkan suatu ucapan artinya ia merenungkannnya, mengira-ngira, dan menafsirkannya”. Apabila kiita memperhatikan kata takwil dan juga pemakaiannya dalam Al-Qur’an, maka kita akan mendapatknya memiliki makna lain yang tidak sama dengan makna terminologis dari kata ‘Tafsir’.
Al-qur’an tidak membedakan antara keduanya kecuali dalam batasan dan perincian-perincian tertentu. Agar kita memahami makna kata ‘Takwil’ maka kita harus memahami makan Terminologisnya dallam Al-Qur’an.
Kata takwil dalam Al-qur’an sebanyak tujuh kali tapi tidak disebutkan dalam makalah ini:
1.      Pada surat An-nnisa Firman Allah Swt : “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rosulnya dan ulil amri diantaa kamu”. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikannlah ia kepada Allah dan Rosul, jika kam benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian dan itu lebih utama (Bagi mu) dan lebih baik akibatnya.
2.      Pada Surat Yusuf Firman Allah Swt : “Dan demikianlah tuhan mu, memilih kamu (untuk menjadi nabi) dan diajarkanya kepada mu sebagian dari tabir mimpi-mimpi dan disempurnakannya nikmat-Nya kepadamu dan kepada keluarga Yakub, sebagaimana dia telah menyempurnakan umat-Nya kepada kedua orang bapak mu sebelum itu, yaitu Ibrahim dan Ishaq. Sesungguhnya Tuhan mu lebih mengetahui lagi maha bijaksana.
3.      Pada Surat Al-isra’ Allah Swt : “Dan sempurnakanlah takaran apabila kamu menakar, dan timbanglah dengan neraca yang benar. Itulah yang lebih utama bagimu dan lebih baik akibatnya (Ahsanu ta’wila).
4.      Pada surat Al-kahfi Allah Swt : “Hidir berkata “ inilah perpisahan antara aku dengan kamu, aku akan memberitahukan kepada mu tujuan (Takwil) perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat sabar terhadapnya”.
Dengan mempelajari ayat-ayat diatas, maka kita kan mengetahui bahwa kata ‘Takwil’ bukan hanya bermakna ‘Tafsir’ dan penjelasan tentang makna suatu lafadz tetapi makan seperti itu hanya terdapat pada ayat yang pertama saja, hal itu karena takwil pada ayat yang pertama berkaitan dengan ayat-ayat samar (Muttashabih). Oleh karena itu para ahli tafsir dari ayat ini  mengatakan bahwa takwil dari ayat mutasyabihat berarti adalah tafsir dan penjelasan makna ayat tersebut. Ayat itu sendiri menunjukan ketidakbolehan menafsirkan ayat-ayat samar.
Ada beberapa ayat dalam Al-qur’an yang untuk memahaminya sangat sulit sekali dan tidak ada yang mampu memahami dengan benar kecuali Allah dan orang-orang yang diberikan kemampuan ilmu dan pemahaman yang tinggi apalagi untuk menentukan dua kemungkinaan, apakah suatu ayat itu berhenti pada lafadz tertentu atau berlanjut ke kalimat setelahnya, bagian al-qur’an yang mudah untuk dipahami untuk orang awam, maka ayat tersebut adalah ayat yang sedah jelas, makna yang sesuai dengan ayat-ayat tersebut adalah bahwa yang dimaksud dengan penakwilan sesuatu adalah sesuatu yang dapat ditakwil dan akan berrakhit kepadanya secara eksternal dan hakiki. Sebagaimana hal itu juga telah dapat kita ketahui dari lafadz itu sendiri. Oleh karen itu, lafadz ‘takwil’ terkadang dinisbatkan kepada Allah dan Rosulnnya, kepada kitab suci yang lain, kepada mimpi, dan kepada timbangan dan neraca yang seimbang.
Maka takwil dari ayat-ayat yang samar bukanlah bermakna penjelasann mengenai maksud ayat tersebut dan bukan juga penafsiran maknanya secara etimologis. Akan tetapi, makanaya adalah apa yang makna-makna tersebut ditakwilkan kepadanya karena setiap makna tersebut masih umum kemudian akal manusia memberikan batasan dan memberikan gambaran khusus. Maka gambaran inilah yang disebut dengan takwil yang umum tersebut.
Atas dasar penjelasan diatas, pengertian kata ‘Takwil’ dalam ayat tersebut adalah sama dengan yang kami sebut sebagai ‘Tafsir semantik’. Itu karena orang-orang yang didalam hatinya terdapat kejelekan yang berusaha memberikan batasan dan gambaran tertentu terhadapa makna-makna dari ayat samar itu. Itu sebagai usaha untuk menghembusakan fitnah karena sebagian ayat mutasyabih berkaitan dengan alam ghaib, usaha untuk memberikan batasan makna secara logis dan khusus baik yang konkrit maupun yang bersandarkan atas hawa nafsu sangatlah rentan dengan bahaya dan fitnah.
Kita dapat menyimpulkan penjelasan diatas sebagai berikut: Pertama, bahwasanya lafadz takwil terdapat dalam Al-qur’an dengan makna segala sesuatu yang ditakwilkan kepadanya, dan bukan bermakna tafsir. Makna seperti ini digunakan untuk menunjukan makna tafsir semantik dan bukan tafsir etimologis, dengan kata lain makna itu dipergunakan dalam makna yang umum dalam gambaran logis dan khas.
Kedua, bahwasanya kekhususan untuk menakwilkan ayat mutasyabih hanya bagi Allah dan orang-orang yang diberikan pemahaman ilmu yang baik bukanlah berarti bahwa ayat-ayat mutasyabih tidak memiliki makna yang dapat dipahami dan juga tidak berarti bahwa hanya Allah yang mengetahui maksud lafadz ayat tersebut dan penafsiranya. Oleh karena itu selama dapat diikuti atau dipahami maka ayat mutasyyabih tentulah mamilik makna yang dapat dipahami, bagaimana mungkin bagian dari ayat Al-qur’an tidak dapat dipahami sedangkan Al-quran adalah petunjuk pada umat manusia yang memberikan keterangan atas segala sesuatu.
Jika membedakan anatar atafsir terminologis dann tafsir semantik maka kita akan mengetahui bahwa yang khusus bagi Allah adalah menakwilkan ayat-ayat mutasyabih dalam arti penafsiran semantik bukan penafsiran terminologis, demikianlah dari penjelasan diatas bahwa takwil adalah penafsiran makna terminologis dan pembahasan tentang apa-apa yang ditakwilkan kepadanya dari pemahaman-pemahaman yang masih umum.

2.1.4  Persamaaan dan Perbedaan Antara Tafsir dan Takwil

Mengenai persamaaan dan perbedaan antara tafsir dan takwil ini, ada perbedaaan pendapat di sebagian kalangan ulama.:

 Pendapat pertama menyatakan bahwa tafsir dan takwil itu memiliki satu arti, karena keduanya merupanakan sinonim (muradif) sehingga jika yang satu dan yang lainnya digunakan untuk pengertian yang sama. Jika disebut kata tafsir berarti juga takwil dan jika disebut takwil maka berarti juga tafsir.

Pendapat kedua, menyatakan beberapa pandangan dari sebagian ahli tafsir yang menentang pengindentikan, apalagi penyamaan antara tafsir dan takwil, seperti yang dikemukakan abu ubaidah, mereka berpendapat bahwa tafsir itu tidak sama dengan takwil, namun demikian mereka juga berbeda pendapat dalam mengedepankan sisi perbedaaanya.

Ar-raghib misalnya berpendirianbahwa makana tafsir lebih umum daripada takwil, atau sebaliknya, makna takwil lebih khusus daripada tafsir. Istilah tafsir menurut ar-raghib lebih banyak digunakan dalam konteks lafal dan makna mufradat, sedang takwil lebih banyak dihubungkan dengan persoalan makna isi dari rangkaian pembicaraan secara keseluruhan (utuh).[3]

Abu thalib al-tsa’labi berpendapat bahwa, tafsir itu menerangkan objek lafal(redaksi teks) dari sisi pandang hakiki atau majazi. Sedangkan takwil itu bermaksud menerangkan substansi teks (bathin al lafzh).


Sebagian ulama lainnya berpendapat bahwa tafsir lebih banyak berhubungan dengan hal-hal yang bersifat pendengaran atau periwayatan, sedangkan takwil lebih banyak dikorelasikan dengan hal-hal yang bersifat penalaran. Seperti pendapatt abu nashr al-qusyairi yang menyatakan bahwa tafsir hanya terbatas pada ayat al-qur’anyang lebih mengandalkan sumber-sumber penglihatan dan pendengaran berbeda dengan takwil yang pemahamannya lebih banyak bergantung pada hal-hal yang bersifat  ijtihad. Dengan kata lain, tafsir lebih banyak mengacu pada riwayah(pendengaran), sedangkan takwil pada dirayah (analisis).

2.1.5    Sejarah Tafsir Al-qur’an

Penafsiran al-qur’an sudah berlangsung sejak zaman nabi Muhammad  Saw dan masih tetap berlangsung hingga sekarang bahkan pada masa yang mendatang, penafsiran al-qur’an telah menghabiskan waktu yang sangat penjang dan melahirkan sejarah yang sangat panjang pula, namun disini kami hanya akan menjelaskna secara singkat saja tentang sejarah tafsir al-qur’an.

Sejarah tafsir qur’an secara garis besar, terdapat 3 periode, periode pertama adalah periode tafsir di masa Rasulullah Saw, kedua tafsir di masa sahabat, ketiga tafsir di masa tabi’in.

A.    Periode tafsir di masa Rasulullah
Tugas utama nubuwwah nabi Muhammad adalah menyampaikan muatan al-qur’an. Berbarengan dengan hal itu pula yang juga didasarkan pada al-qur’an, nabi Muhammad diberi otoritas untuk menerangkan atau menafsirkan al-qur’ankarena tidak seluruh ayat yang diturunkan  kepada rasulullah dapat dipahami dengan mudah oleh para sahabat. Maka dari itu rasul yang menerangkanya berdasarkan pada keterangan-keterangan yang diperoleh dari Allah yang kemudian dijelaskan kembali dengan bahasa beliau sendiri
Atas dasar itu pula para ahli tafsir dan ilmu al’qur’an seperti, qari’, hafizh dan para muffassir pertama dalam sejarah ilmu tafsir al’qur’an, menobatkan nabi Muhammad Saw sebagai mufassir pertama.
Pembahasan diatas membawa kita pada penjelasan yang tegas yaitu bahwa, pertama, setiap penafsiran al-qur’an hendaknya lebih dahulu memperhatikan keterangan yang beliau berikan, kemudian baru diterangkann dengan logika dan rasio. Kedua, Nabi Saw merupakan pemegang otoritas tunggal sebagai penafsir dan penjelas al qur’an pada masa kersulan.

B.     Periode tafsir di masa Sahabat

Sepeninggal nabi Muhammad Saw selaku mufassir pertama dan tunggal dizamanya, penafsiran al-qur’an dilakukan oleh para sahabat. Banyak sahabat yang dibekali rasulullah dengan ilmu al-qur’an dan ada pula yang memang akrab bergaul dengan rasulullah, sehingga banyak dari mereka menjadi mufassir di kalangan sahabat, beberapa sahabat yang paling banyak memberikan kontribusinya pada penafsiran tentang ayat-ayat al-qur’an, ada sepuluh yang paling utama, yaitu :

1.      Abu bakar as-Siddiq
2.      Umar bin al-Khattab
3.      Usman bin Affan
4.      Ali bin abi Thalib
5.      Abdullah bin Mas’ud
6.      Abdullah bin Abbas
7.      Ubay bin Ka’ab
8.      Zaid bin Sabit
9.      Abu Musa al-Asyari
10.  Abdullah Bin Zubair

Dari beberapa orang yang disebutkan diatas empat diantaranya adalah Khulafa’ur Rasyidin, dan dari keempat orang tersebut ali bin abi thalib lah yang dikenal paling banyak menafsirkan al-qur’an. Namun bila diantara kesepuluh sahabat diatas, ibnu abba adalah sahabat yang paling banyak dan paling dalam pengetahuanya mengenai tafsir al-qur’an dan pernah disebutkan bahwa Abdullah bin abbas pernah mendapatkan doa khusus dari Rasulullah Saw agar dia memahami al-qur’an dan ternyata hal itu terbukti.
Pada masa ini tafsir memiliki empat sumber sebagai rujukan utama, yaitu:
1.      Al qur’an al karim, atau biasa disebut tafsir al qur’an bil qur’an.
2.      Nabi saw yang dalam implementasinya disebut tafsir al-qur’an bis sunnah.
3.      Tafsir alqur’an dengan pendapat sahabat.
4.      Ahli kitab dari umat yahudi dan nasrani, hal ini karena al-qur’an sejalan dengan taurat dalam beberapa masalahnya.

C.     Periode Tafsir di masa tabi’in

             Pada masa ini ekspansi yang dilakukan secara agresif dan mobilitas yang sangat tinggi ke berbagai daerah jazirah arab dan luar jan memperluas dan mengembangkan wilayah islam. Hal tersebut turut mempengaruhi kompleksitas permasalahan yang dihadapi oleh umat islam.
Seiring dengan semakin meluasnya daerah yang dipengaruhi oleh islam, peradaban dan kebudayaan islam pun mengalami kemajuan, termasuk ilmu tafsir. Para mufassir tidak lagi merasa cukup dengan hanya mengutip atau menghafal seperti yang dilakukan selama ini, tetapi mereka mulai berorientasi pada penafsiran al-qur’an berdasarkan pendekatan ilmu bahasa dan penalaran ilmiah. Dengan kata lain tidak lagi mengandalkan kekuatan tafsir bil al ma’tsur tetapi juga berupaya mengembangkan tafsir bil al dirayah dengan segala macam implikasinya.
Pada masa ini tafsir al-qur’an mengalami perkembangan sedemikiam rupa dengan penitikberatan pada pembahasan aspek tertentu sesuai dengan tendensi dan kecenderungan mufassir itu sendiri.

Pada masa ini tafsir memiliki lima sumber rujukan utama, yaitu :
1.      Al qur’an al karim, atau biasa disebut tafsir al qur’an bil qur’an.
2.      Nabi saw yang dalam implementasinya disebut tafsir al-qur’an bis sunnah.
3.      Tafsir alqur’an dengan pendapat sahabat.
4.      Ahli kitab dari umat yahudi dan nasrani, hal ini karena al-qur’an sejalan dengan taurat dalam beberapa masalahnya.
5.      Ijtihad para tabi’in

2.2       Model-model penelitian

2.2.1    Model Quraish Shihab

H.M Quraish Shihab (lahir tahun 1944) pakar di bidang Tafsir dan Hadis se-Asia Tenggara,telah banyak melakukan penelitian terhadap berbagai karya ulama terdahulu di bidang tafsir. Ia telah meneliti tafsir karangan Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha, dengan judul Studi Kritis Tafsir Al-Manar karya Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha yang telah di terbitkan dalam bentuk buku oleh Pustaka Hidayah pada tahun 1994. Model penelitian tafsir yang dikembangkan oleh H.M Quraish Shihab lebih banyak bersifat eksploratif, deskriptif, analitis, dan perbandingan. Yaitu model penelitian yang berupaya menggali sejauh mungkin produk tafsir  yang dilakukan ulama-ulama tafsir terdahulu berdasarkan berbagai literatur tafsir baik yang bersifat primer, yakni yang ditulis oleh ulama tafsir yang bersangkutan, maupun ulama lainnya. Data-data yang dihasilkan dari berbagai literatur trsebut kemudian di deskripsikan secara lengkap serta dianalisis dengan menggunakan pendekatan kategoris dan perbandingan.
Hasil penelitian H.M Quraish Shihab terhadap Tafsir al-Manar Muhammad Abduh, misalnya menyatakan bahwa Syaikh Muhammad Abduh (1849-1909) adalah salah seorang ahli tafsir yang banyak mengandalkan akal, menganut prinsip tidak menafsirkan ayat-ayat yang kandungannya tidak terjangkau oleh pikiran manusia, tidak pula ayat-ayat yang samar atau tidak terperinci dalam al-Qur’an. Ketika menafsirkan firman Allah dalam al-Qur’an surat 101 ayat 6-7 tentang “timbangan amal perbuatan di hari kemudian” , Abduh menulis “Cara Tuhan dalam menimbang amal perbuatan, tiada lain kecuali atas dasar apa yang diketahui olehNya, bukan atas dasar apa yang kita ketahui, maka hendaklah kita menyerahkan permasalahannya hanya kepada Allah SWT. Atas dasar keimanan.[4] Bahkan, Abduh terkadang tidak menguraikan arti satu kosakata yang tidak jelas dan menganjurkan untuk tidak perlu membahasnya, sebagaimana sikap yang ditempuh sahabat Umar bin Khathab ketika membaca abba dalam surat Abasa (Q.S 80:32) yang berbicara tentang aneka ragam nikmat Tuhan kepada makhluk-makhlukNya.[5]
Selanjutnya,dengan tidak memfokuskan pada tokoh tertentu, Quraish Shihab telah meneliti hampir seluruh karya tafsir yang dilakukan para ulama terdahulu. Dari penelitian tersebut telah dihasilkan beberapa kesimpulan yang berkenaan dengan tafsir. Antara lain: (1) periodesasi pertumbuhan dan perkembangan tafsir (2) corak-corak penafsiran (3) macam-macam metode penafsiran alqur’an (4) syarat-syarat dalam menafsirkan alquran, dan (5) hubungan tafsir modernisasi.

a.  Periodesasi Pertumbuhan dan Perkembangan Tafsir
Menurut hasil penelitian Quraish, jika tafsir dilihat dari segi penulisannya (kodifikasi), perkembangan tafsir dapat dibagi ke dalam tiga periode.
Periode 1, yaitu masa Rasulullah, sahabat dan permulaan tabi’in, dimana tafsir belum tertulis dan secara umum periwayatan ketika itu tersebar secara lisan.
Periode 2, bermula dengan kodifikasi hadis secara resmi masa pemerintahan Umar bin Abdul Azis (99-101H) dimana tafsir ketika itu ditulis bergabung dengan penulisan hadis, dan di himpun dalam satu bab seperti bab-bab hadis walaupun tentunya penafsiran yang ditulis itu umumnya adalah tafsir bi al-Ma’tsur.
Periode 3, dimulai dengan penyusunan kitab-kitab, tafsir secara khusus dan berdiri sendiri, oleh sementara ahli menduga dimulai oleh Al-Farra (W.207 H) dengan kitabnya berjudul ma’ani alqur’an.[6]
Periodesasi tersebut masih bisa ditambahkan lagi dengan peiode keempat, yaitu periode munculnya para peneliti tafsir yang membukukan hasil penelitiannya itu, sehingga dapat membantu masyarakat mengenal karya-karya tafsir yang ditulis oleh para ulama sebelumnya dengan mudah.
b.    Corak Penafsiran
Berdasarkan hasil penelitiannya, Quraish Shihab mengatakan bahwa corak-corak penafsiran yang dikenal selama ini antara lain:
Corak Sastra Bahasa, timbul akibat kelemahan-kelemahan orang arab sendiri di bidang sastra
Corak Filsafat dan teologi, akibat penerjemahan kitab filsafat yang mempengaruhi sementara pihak serta akibat masuknya penganut agama-agama lain ke dalam islam yang dengan sadar atau tidak, masih mempercayai beberapa hal dari kepercayaan lama mereka.
Corak Penafsiran Ilmiah, akibat kemajuan ilmu pengetahuan dan usaha penafsir untuk memahami ayat-ayat alqur’an sejalan dengan perkembangan ilmu.
Corak Fiqih atau Hukum, akibat perkembangan ilmu fiqih dan terbentuknya madzhab-madzhab fiqih
Corak Tasawuf, akibat timbulnya gerakan-gerakan sufi sebagai reaksi terhadap kecenderungan berbagai pihak terhadap materi.
Corak Sastra Budaya Kemasyarakatan, yakni suatu corak tafsir yang menjelaskan petunjuk ayat-ayat alqur’an yang berkaitan langsung dengan kehidupan masyarakat. Corak ini bermula pada masa Syaikh Muhammad Abduh sehingga mengurangi perhatian pada corak-corak sebelumnya dan lebih banyak tertuju pada corak ini.[7]
c.       Macam-macam Metode Penafsiran Alquran
Metode Ma’tsur (periwayatan), metode ini memiliki banyak keistimewaan, antara lain: (a) Menekankan pentingnya bahasa dalam memahami Alquran. (b) Memaparkan ketelitian redaksi ayat ketika menyampaikan pesan-pesannya. (c) mengikat mufasir dalam bingkai teks ayat-ayat sehingga membatasinya terjerumus dalam subyektifitas berlebihan. Sedangkan kelemahannya antara lain: (a) terjerumusnya mufassir kedalam kebahasaan dan kesusastraan yang bertele-tele sehingga pesan pokok Alquran menjadi kabur. (b) seringkali konteks turunnya ayat atau sisi kronologis turunnya ayat-ayat hukum yang dipahami dari uraian nasih mansukh hampir dapat dikatakan terabaikan sama sekali, sehingga ayat-ayat tersebut bagaikan turun bukan dalam satu masa atau berada di tengah-tengah masyarakat tanpa budaya.[8]
Metode penalaran: pendekatan dan corak-coraknya,
·         Metode tahlily atau yang dinamai oleh Baqir Al-Shadr sebagai metode tajzi’iy adalah satu metode tafsir yang mufassirnya berusaha menjelaskan kandungan ayat-ayat Al-qur’an dari berbagai seginya dengan memperhatikan runtutan ayat-ayat alquran sebagaimana tercantum di dalam mushhaf. Segala segi yang dianggap perlu oleh seorang mufassir tajzi’iy/tahlily diuraikan. Yaitu bermula dari kosakata, asbab al-nuzul, munasabat, dan lain-lain yang berkaitan dengan teks atau kandungan ayat. Kelebihan metode ini antara lain adanya potensi untuk memperkaya arti kata-kata melalui usaha penafsiran terhadap kosakata arab, syair-syair kuno, dan kaidah-kaidah ilmu nahwu. Kelemahan metode ini, walaupun dinilai luas, namun tidak menyelesaikan pokok bahasan, karena seringkali satu pokok bahasan diuraikan sisinya atau kelanjutannya pada ayat lain.[9]
·         Metode ijmali atau yang disebut juga dengan metode global adalah cara menafsirkan ayat-ayat Alquran dengan menunjukkan kandungan makna yang terdapat pada suatu ayat secara global.
·         Metode muqarin adalah metode tafsir alquran yang dilakukan dengan cara membandingkan ayat alqur’an yang satu dengan lainnya, yaitu ayat-ayat yang mempunyai kemiripan redaksi dalam dua atau lebih kasus yang berbeda. Adapun prosedur penafsiran dengan metode muqarin antara lain: (1) menginventarisasi ayat-ayat yang mempunyai kesamaan dan kemiripan redaksi. (2) meneliti kasus yang berkaitan dengan ayat-ayat tersebut. (3) mengadakan penafsiran.
·         Metode Maudhu’iy. Salah satu pesan Ali bin Abi Thalib adalah: “Ajaklah Alquran berbicara atau biarkan ia menguraikan maksudnya.” Pesan ini antara lain mengharuskan penafsir merujuk kepada Alqur’an dalam rangka memahami kandungannya. Dari sini lahirlah metode maudhu’iy yang mana mufassirnya berupaya menghimpun ayat-ayat alquran dari berbagai surat yang berkaitan dengan persoalan atau topik yang ditetapkan sebelumnya. Kemudian mufassir membahas dan menganalisis kandungan ayat-ayat tersebut sehingga menjadi satu kesatuan yang utuh.[10]

   Berdasarkan metode penafsiran alqur’an tersebutbagi Quraish Shihab bukan hanya sekedar teori atau pengetahuan belaka sebagaimana pada umumnya yang dimiliki para pakar, tetapi telah dipraktekkannya dalam kegiatan menafsirkan alquran. Ia misalnya menulis buku “Mahkota Tuntutan Ilahi (terbitan untagma tanpa tahun)” yang isinya adalah tafsir Surat Al-Fathihah. Sementara bukunya yang lain seperti “Membumikan Al-Qur’an dan Wawasan Al-Qur’an”, yang diterbitkan Mizan pada tahun 90-an berisi pembahasan tentang berbagai masalah sosial kemasyarakatan dengan menggunakan metode tematik.
2.2.2  Model Ahmad al-Syarbashi
Pada tahun 1985 Ahmad Al-Syarbashi melakukan penelitian tentang tafsir dengan menggunakan metode deskriptif, eksploratif dan analisis sebagaimana halnya yang dilakukan oleh Quraish Shihab. Sedangkan sumber yang digunakan adalah bahan-bahan bacaan atau kepustakaan yang ditulis para ulama tafsir, seperti Ibn Jarir Al-Tabari, Al-Zamaksyari, Jalaludin Al-Shuyuti, Al-Raghib Al-Ishfahani. Hasil penelitiannya mencakup tiga bidang.
1.       Mengenai sejarah penafsiran al-Qur'an yang dibagi ke dalam tafsir pada masa sahabat
2.      Mengenai corak tafsir, yaitu tafsir ilmiah, tafsir sufi dan tafsir politik.
3.      Mengenai gerakan pembaharuan di bidang tafsir.
Menurutnya, tafsir pada zaman Rasulallah Saw, pada awal masa pertumbuhan Islam disusun pendek dan tampak ringkas karena pengusaan bahasa Arab yang murni pada saat itu cukup untuk memahami gaya dan susunan kaliamat Al-Qur'an. Pada masa-masa sesudah itu penguasaan bahasa Arab mengalami kerusakan akibat percampuran masyarakat Arab dengan bangsa-bangsa lain, yaitu ketika pemeluk Islam berkembang meluas ke berbagai negeri. Untuk memelihara keutuhan bahasanya, orang arab mulai meletakkan kaidah-kaidah bahasa Arab seperti Ilmu Nahwa (gramatika) dan balaghah (retorika). Disamping itu pula, tujuan dimulainya dilakukan penafsiran Al-Qur'an sebagai pedoman bagi kaum muslimin juga memudahkan memahami banyak hal yang samar dan sulit dalam pemaknaannya.
Lebih lanjut, beliau mengatakan pastinya dilakukan melalui sabda Nabi Saw  sebagai tolak ukur langkah awal untuk dilakukan penafsiran sebagai hal yang paling dekat relasinya dengan al-Qur'an. Karena, sebagaimana yang kita ketahui telah banyak pula hadits-hadits yang maudhu barulah setelah itu kita merujuk tafsir dari para sahabat.
Dalam poin ke-2 mengenai corak tafsir dalam contoh pertama (tafsir ilmiah), sudah dapat dipastikan bahwa dalam al-Qur'an tidak terdapat satu teks induk yang bertentangan dengan bermacam kenyataan ilmiah. Ini merupakan satu segi dari kedudukannya sebagai mukjizat. Ahmad Al- Syarbashi mengatakan berdasarkan data yang didapat dari kitab tafsir Ar-Razi yakni banyak bagiannya yang dapat dianggap ilmiah. Sebagaimana pula dalam judul panjang dari kitab tasir Muhammad bin Ahmad Al-Iskandrani yakni Kasyful Asrar Al-Nuraniyah al-Quraniyah fi Ma Yata'allaqu bi Al-Arwah As-Samawiyah wa Al-Ardhiyah.
Selanjutnya, mengenai tafsir sufi beliau menuturkan ada kaum sufi sibuk menafsirkan huruf-huruf al-Qur'an dan berusaha menjelaskan relasi dengan huruf lainnya. Ahmad al-Syarbashi membuktikan adanya tafsir sufi lewat kutipannya dari pendapat Al-Thusi yakni segala yang dapat dipahami dan segala sesuatu yang dapat diungkapkan serta diketahui oleh manusia, semuanya itu berasal dari dua huruf yang terdapat pada permulaan Kitabullah, yaitu Bismillah dan Alhamdulillah karena keduanya bermakna Billah (karena Allah) dan lillah (bagi Allah). Jadi segala sesuatu dapat dimengerti karena Allah dan bagi Allah.
Menurutnya, dalam penjelasan mengenai tafsir politik berdasarkan pendapat kaum Khawarij yang terlibat dalam politik dan memahami ayat-ayat al-Qur'an. Sebagaimana dalam surat Al-Hujurat ayat 9 yang artinya : Jika ada dua golongan orang-orang yang beriman berperang, damaikanlah antara keduanya. Dalam pemahaman kaum ini (khawarij) Allah menurunkannya berkaitan dengan terjadinya peperangan antara golongan Ali bin Abi Thalib dan golongan Mu'awiyah bin Abi Sufyan.
Selain itu, juga terdapat gerakan pembaharu dalam bidang tafsir, beliau mendasarkan pada beberapa karya ulama yang muncul pada awal abad ke-20. Ia menyebutkan Sayyid Rasyid Ridha –murid Syekh Muhammad Abduh yang telah banyak menuangkan kuliah-kuliah gurunya dalam majalah Al-Manar lalu beliau buat dalam sebuah kitab tafsir yang disebut sebagai kitab tafsir Al-Manar yakni mengandung pembaharuan dan perkembangan zaman. Dalam kitab tersebut Syekh Muhammad Abduh berusaha untuk menghubungkan ajaran-ajaran Al-Qur'an dengan kehidupan masyarakat disamping membuktikan bahwa islam adalah Universal, umum, abadi. Metode ini dinamakan menafsirkan Al-Qur'an dengan Al-Qur'an dan tetap berpegang pada hadits-hadits shahih.

2.2.3    Model Syaikh Muhammad Al-Ghazali


Syaikh Muhammad Al-Ghazali dikenal sebagai pemikir islam abad modern yang produktif, ia menempuh cara penelitian tafsir yang bercorak eksploratif, deskriptif dan analitik dengan berdasar pada rujukan kitab-kitab tafsir yang ditulis ulama terdahulu. Hasil penelitian Al-Ghazali  salah satunya berjudul Berdialog Dengan Qur’an yang di dalamnya terkandung macam-macam  metode memahami Al-Qur’an, ayat-ayat kauniyah tentang Al-Qur’an, bagaiman memahami Al-Qur’an, peran ilmu-ilmu sosial dan kemanusiaan dalam Al-Qur’an. Lebih spesifiknya lagi tentang macam-macam metode memahami Al-Qur’an , Al-Ghazali membaginya menjadi dua yaitu metode klasik dan metode modern . 
Berbagai macam metode yang disampaikan oleh Al-Ghazali tersebut oleh ulama lainnya disebut sebagai pendekatan, dan bukan metode. Muhammad Al-Ghazali mengemukakan metode modern timbul sebagai akibat dari adanya kelemahan dalam berbagai metode yang telah ia kemukakan di atas. Salah satu contoh datang dari pendekatan atsariyah atau tafsir bil ma’tsur. Kritik dari metode ini adalah ayat-ayat yang sering dikaitkan dengan hadits dhaif, sehingga apa yang diharapkan dari sebuha tafsir Al-Qur’an dengan pemikiran Qur’ani tampaknya belum begitu terlihat. Kasus lainnya yang  Al-Ghazali temukan ada pada kitab Fi Dzilalil Qur’an karya Sayyid Quthub yang ia nilai hanya mengutip nash-nash saja dari tafsir Ibnu Katsir, sedangkan hadits-haditsnya tidak dikutip selengkap ia mengutip nash-nash yang ada. Padahal Al-Ghazali menginginkan pikiran-pikiran baru yang orisinal yang dapat ia temukan dari  karya Sayyid Quthub tersebut. Contoh lainnya yang ia kemukakan dari tafsir yang bercorak dialogis, seperti yang pernah dilakukan Al-Razi dalam tafsirnya Al-Tafsir Al-Kabir. Menurutnya buku ini banyak menyuguhkan tema-tema menarik tetapi sebagaian dari tema tersebut sudah keluar dari batasan itu sendiri, yang menjadi acuan penafsir Qur’an.
Berangkat dari kekurangan itulah Al-Ghazali berusaha memberikan jalan keluar dimana kita dapat memberikan jawaban terhadap berbagai masalah kontemporer dan modern, ia pun memberikan saran antara lain: “Kita inginkan saat ini adalah karya-karya keislaman yang menambah tajamnya pandangan islam dan bertolak dari pandangan islam yang benar dan berdiri di atas argument yang memiliki hubungan dengan Al-Qur’an. Kita hendaknya berpandangan bahwa hasil pikiran adalah relative dan spekulatif, bisa benar juga bisa salah. Keduanya memiliki bobot yang sama dalam sebuah kegiatan pemikiran. Di sisi lain, kita juga tidak menutup mata terhadap adanya manfaat atau fungsi serta sumbangan pemikiran keagamaan lainnya, bila itu semua menggunakan metode yang tepat.”.

Metode Penelitian Lainnya


Metode-metode lainnya yang perlu mendapatkan perhatian adalah metode yang berdasarkan aspek-aspek tertentu dari Al-Qur’an. Di antaranya ada yang memfokuskan penelitiannya terhadap kemu’jizatan Al-Qur’an , metode-metode , kaidah-kaidah dalam menafsirkan Al-Qur’an, kunci-kunci untuk memahami Al-Qur’an serta ada pula yang khusus meneliti mengenai corak dan arah penafsiran Al-Qur’an yang khusus terjadi pada abad keempat.
Amin Abdullah dalam bukunya berjudul Studi Agama juga telah melakukan penelitian deskriptif secara sederhana terhadap perkembangan  tafsir. Menurutnya jika dilihat secara garis besar perjalanan sejarah abad pertengahan, agaknya tidak terlalu meleset jika dikatakan bahwa dominasi tafsir Al-Qur’an secara leksiografis (lughawi) tampak lebih menonjol. Tafsir karya Shihab Al-Din Al-Khaffaji (1659) memusatkan perhatian pada analisis gramatika dan analisis sintaksis atas ayat-ayat Al-Qur’an. Juga karya Al-Baydawi (1286), yang hingga sekarang masih digunakan di pesantren-pesantren, yang memusatkan penafsiran Al-Qur’an secara lugahwi. Karya leksiografis lainnya ada pada karya ‘Aisyah Abd Rahman binti Al-Syati’ dalam Al-Tafsir Al-Bayan Li Al-Qur’an Al-Karim. Karya tafsir mutakhir ini kaya dengan metode komparatif di dalam memahami dann menafsirkan arti suatu kosa kata Al-Qur’an.
Tanpa harus mengecilkan jasa besar tafsir yang bercorak leksiografis, corak seperti itu dapat membuat kita memandang bahwa Al-Qur’an kurang utuh karena belum menampilkan suatu pemahaman yang utuh dari pemahaman Al-Qur’an yang fundamental. Karya tafsir yang menampilkan I’jaz akan membuat kita terpesona dengan bahasa Al-Qur’an yang sangat indah itu, tetapi kurang bisa menguak nilai-nilai spiritual dan sosio moral Al-Qur’an untuk kehidupan sehari-hari manusia.
Contoh lain pada penonjolan tafsir Al-Qur’an lewat Asbabun Nuzul bila terlepas dari nilai-nilai fundamental universal yang ingin ditonjolkan. Ia mengandung minus keterkaitan dan keterpaduan antara ajaran Al-Qur’an yang bersifat universal dan transcendental bagi kehidupan manusia di manapun mereka berada.



[1]  Agama, Kementrian RI.2010.Al-Quran dan Tafsirnya., h. 17
[2]  Muhammad bin sulaiman al khafiji, At Taisir Fi Qawa’id ‘Ilm Tafsir ( Beirut: Darul-Qalam, 1990), Cet  ke 1, h. 124
[3] H. Ahmad Izzan, M.Ag Metodologi Ilmu Tafsir
[4] Syekh Muhammad Abduh,Tafsir Juz Amma,(Mesir:Dar al-Hilal,1967),hlm.189
[5] Ibid hlm.26
[6] H.M.Quraish Shihab,Membumikan Al-Qur’an,op.cit.,hlm.73.
[7] Ibid,hlm.73.
[8] Ibid,hlm.84.
[9] Ibid.,hlm.86.
[10] Quraish Shihab,op.cit.,hlm.87.

No comments:

Post a Comment